Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha kulinernya telah mencapai 50 outlet (gerai), dengan omzet di atas Rp 100 juta perbulan untuk setiap gerai. Mendengar kata steak akan teringat makanan khas Eropa yang mahal harganya. Namun, itu tidak berlaku di “Waroeng Steak and Shake”. Hanya dengan merogoh kocek Rp 8.000 hingga Rp. 13.000, aneka macam steak pun dapat dinikmati dengan cita rasa yang tak kalah dengan steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng Steak and Shake buka pada saat jam makan siang, puluhan pengunjung langsung menyerbu kuliner yang telah meraih sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia. Bahkan, tak jarang sebagian di antaranya rela antri untuk mendapatkan tempat duduk. Seiring dengan berputarnya waktu, usaha ini semakin melaju. Jika tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai sederhana dengan 2 karyawan, namun kini menjadi 50 gerai dengan mempekerjakan 1.000 karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha.
Sukses yang diraih Waroeng Group tidak lepas dari keuletan dan tangan dingin sang owner (pemilik), Jody Broto Suseno (37). Dengan bakat wirausaha yang dimilikinya, sejak lulus SMA tahun 1993, Jody telah mencoba berbagai macam usaha, mulai bisnis parsel, susu segar, roti bakar, hingga kaos partai. Untung dan rugi pun pernah ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat mengurusi usaha “Obonk Steak” milik orangtuanya. Ia diminta menangani Obonk Steak dan memasarkannya ke teman-teman kuliahnya. “Tapi sayangnya ndak ada yang datang, karena harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kantong mahasiswa,” ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang memberi inspirasi untuk membuat usaha kuliner steak dengan harga mahasiswa. Jody pun mulai memikirkan cara menekan harga steak yang sejatinya memang mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan Waroeng Steak and Shake dibutuhkan modal awal yang cukup besar. Beruntung ia memiliki sepeda motor pemberian orangtua, yang akhirnya dijual untuk modal usaha.
“Dari penjualan motor, saya gunakan untuk sewa tempat di daerah Demangan Yogyakarta, sebagian lagi untuk peralatan usaha, dan sisanya untuk membeli motor tua sebagai alat transportasi,” ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah awal berdirinya Waroeng Steak and Shake di Jalan Cendrawasih Demangan Yogyakarta. Jody memilih nama Waroeng sebagai brand usaha kulinernya untuk memberi kesan murah kepada konsumen.
“Di mana-mana yang namanya steak itu mahal, makanya saya memberi nama Waroeng untuk memberi kesan murah,” kata Jody. Mengingat pangsa pasarnya anak muda dan mahasiswa, maka warna yang digunakannya pun dibuat ngejreng, dengan kombinasi warna kuning yang dominan dipadu warna putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan perjuangan bagi Jody. Dengan lima meja, sepuluh hot plate dan tiga menu utama (Sirloin, Tenderlon, dan Chicken Steak) yang disediakan Waroeng Steak, tak jarang hari-hari yang dilalui Jody tanpa pengunjung. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya daripada sukanya. Namun, usaha ini tetap jalan. Jody bertugas memasak di dapur, istrinya melayani tamu sekaligus menjadi kasir, dan dua karyawannya menangani tugas lainnya. “Alhamdulillah, di tahun pertama masih bisa menggaji karyawan dan memenuhi kebutuhan keluarga, meski pas-pasan,” jelas Jody. Interaksinya dengan pelanggan dan masukan yang dilontarkan mereka membuat Jody terus berbenah. Jody pun berinisiatif membuat daftar harga dan dipasang di depan warung miliknya. Ternyata cara ini efektif. Tidak lama berselang, banyak pengunjung dari berbagai kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai menampakkan hasil. Pengunjungnya semakin stabil, bahkan tidak mampu melayani seluruh pengunjung. Maka ia pun mengajak keluarganya untuk berinvestasi mengembangkan usaha ini, mulai dari ayah, ibu, saudara, paman, dan keluarga lainnya diajak berinvestasi dengan bagi hasil 50:50. Semakin hari usaha ini berkembang hingga cabang ke-7 dengan sistem bagi hasil. Barulah pada gerai ke-8 dan seterusnya Jody mampu mendanai sendiri gerainya, tanpa menerapkan pola franchise.
Belakangan, Jody lebih senang mengajak investor dari kalangan ustadz untuk mengembangkan usahanya di berbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Edi Mustofa, dan Ustadz Endang ikut berinvestasi di bisnis ini. Bahkan, kini berkembang ke berbagai lini, seperti Bebaqaran untuk ikan bakar, Bebek Goreng H. Slamet, dan Festival Kuliner (Feskul). “Para ustadz itu saya ajak bergabung dengan usaha kuliner ini dengan harapan usaha ini memperoleh doa dari mereka,” terang Jody saat ditemui Suara Hidayatullah di Rumah Tahfizh miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan bukanlah hal mudah, dan itulah yang dirasakan Jody. Ia merasa berkewajiban untuk ikut memberdayakan karyawannya yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan budaya tersebut. Awalnya, Jody hanya berpikir praktis dengan mengikutkan hampir seluruh karyawannya training ESQ. Namun atas masukan beberapa ustadz, Jody akhirnya membuat Spiritual Company, dan mendaulat Ustadz Syamsuri untuk membuat sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual Company ini terdiri dari dakwah dan pendidikan Islam. Untuk dakwah bil hal, dilakukan melalui olahraga, kegiatan sosial, infaq karyawan, dan seni budaya. “Untuk pendidikan Islamnya yakni pengadaan tausiyah rutin di outlet-outlet dan kantor, buletin bulanan, dan belajar membaca al-Qur`an bagi seluruh karyawan,” kata Ustadz Syamsuri saat ditemui di kantor Waroeng Group Timoho Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz Syamsuri, telah disusun secara sistematis berikut tema-temanya. Misalnya bulan Maret lalu bertema Shalat Tepat Waktu, maka seluruh gerai di Jawa, Bali dan Sumatera harus menyelenggarakan tausiyah untuk karyawan dengan tema yang sama. Tema yang beragam itu telah disusun selama setahun. Materinya meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan sirah Nabi. Selain pengajian internal karyawan yang dilaksanakan setiap pekan, Waroeng Group juga menyelenggarakan pengajian warga sekitar gerai tiap bulan. Bahkan, pengajian berskala besar dengan mendatangkan ustadz dari Jakarta setiap bulan, dengan tema kegiatan “Dari Waroeng untuk Umat”.
Tahun 2010, Waroeng Group mulai menawarkan program menarik bagi karyawannya. Bagi yang mampu menghafal al-Qur`an minimal empat surah pilihan akan diikutkan umrah dan haji gratis. “Ternyata banyak karyawan yang bisa menghafal empat surah, dan terpaksa dilakukan pengundian untuk memilih enam di antaranya,” kata Jody. Sebagai bagian dari Spiritual Company, Jody menerapkan aturan ketat kepada karyawannya. Bila tahun 2009 larangan merokok ditujukan kepada seluruh menejemen, maka mulai 2010 seluruh karyawannya dilarang merokok.
Kini, selain sibuk mengurus usahanya, Jody pun aktif mendirikan Rumah Tahfizh dan mengasuh puluhan anak untuk menghafal al-Qur`an. “Saat ini sudah berdiri empat Rumah Tahfizh yang mengasuh 83 santri mukim, dan 60 santri kalong, satu di antaranya adalah Rumah Tahfizh Waroeng Group. Alhamdulillah, usaha saya terbukti semakin meningkat, ”ungkap Jody yakin".
0 komentar:
Posting Komentar